Selasa, 17 Maret 2015

China Containment Policy, Skenario Besar Amerika Kuasai Ekonomi Asia





The China containment policy
adalah istilah politik yang bertujuan untuk menanggulangi pengaruh pertumbuhan ekonomi dan politik Republik Rakyat China, yang merupakan bagian dari kebijakan luar negeri AS, hal ini merupakan hasil dari analis politik China, Harkens selama periode perang dingin AS terhadap negara – negara komunis.
Kebijakan ini diberlakukan untuk membatasi dan melemahkan hegemoni China di Asia. Sehingga secara bertahap AS mendirikan pangkalan militer, ekonomi, dan menjalin
hubungan diplomatik dengan negara – negara yang berdekatan dengan perbatasan China, yang akan memberikan akibat kemitraan aliansi dan ekonomi China bisa terganggu.
Seperti halnya kehadiran militer di Afghanistan, Uzbekistan, dan Tajikistan, merupakan contoh bagaimana kebijakan ini berjalan, yang kemudian berlanjut dengan menjalin hubungan dengan negara – negara wilayah Asia Selatan – Timur dan Asia Pasifik, adalah upaya untuk terus menanggulangi pengaruh dari China.
Pendukung kebijakan ini menyebut bahwa tindakan AS adalah merupakan penyeimbang terhadap ekses ekspansi Cina. Negara-negara di wilayah sengketa dengan China , seperti di Laut Cina Selatan dan Kepulauan Senkaku. Pada tahun 2006 Strategi Keamanan Nasional AS menyatakan bahwa militer China memiliki ‘ potensi terbesar dari setiap negara untuk bersaing dengan teknologi militer AS dan berdampak terhadap menurunnya keuntungan yang diperoleh AS selama beberapa tahun kedepan.
Dokumen ini berlanjut dengan menyatakan bahwa China harus lebih terbuka, Kebijakan ini mengasumsikan bahwa tindakan harus diambil terhadap China untuk mencegah dari mencari hegemoni di kawasan Asia – Pasifik dan / atau di seluruh dunia . Analis China juga telah menyarankan bahwa ekspansi yang cepat dari militer China.
Alasan Australia menyadap komunikasi sejumlah petinggi Indonesia disebabkan kekhawatiran mereka bahwa Indonesia akan “berpaling” kepada Cina.
Padahal, Barat (Amerika Serikat dan semua sekutunya di seluruh dunia) memiliki skenario besar membendung pengaruh Cina di mana-mana, yang dinamakan China Containment. Dalam konteks China Containment inilah, maka perebutan pengaruh Barat dan Cina itu terjadi secara sengit.
China Containment merupakan cara Amerika Serikat dan sekutunya membendung peningkatan pengaruh Cina sebagai negara adidaya baru dalam ekonomi, militer, politik, dan budaya.
AMBISI GLOBAL IMPERIUM AMERIKA
Sebuah Harian Nasional, Rabu, 16 Februari 2005 yang lalu, menuliskan berita kecil, tentang skenario global Amerika Serikat untuk menguasai dunia pada tahun 2020. Dalam waktu kurang dari 15 tahun lagi ambisi tersebut menurut rencana sudah harus tercapai. Berita tersebut mengutip pernyataan Presiden Italia, Carlo Azeglio Ciampi, pada saat kunjungan ke New Delhi, India, 15 Februari 2005 yang lalu. Tidak banyak masyarakat atau bahkan pejabat tinggi dari negara-negara yang selama ini menjadi ladang garapan Amerika Serikat, seperti Indonesia dan negara berkembang lainnya dibelahan dunia, memperhatikan berita tersebut, apalagi membahas dan menjadikan hal tersebut sebagai sebuah ancaman nyata.
Harian USA Today juga menuliskan berita tentang thema yang sama pada edisi 13 Februari 2005. Akan tetapi, USA Today mengutip dari laporan National Intelligence Council (NIC), yang diketuai oleh Robert Hutchings dengan judul “Mapping The Global Future”. NIC meluncurkan laporan lima tahunan tentang masa depan dunia. “Kami berusaha menghindari peluncuran skenario buruk, sebagaimana sering dituangkan dalam prediksi dunia intelijen,” kata Hutchings.
NIC bermarkas di Kantor Central Intelligence Agency (CIA) di Langley, Virginia. Laporan terbaru itu juga memasukkan pandangan dari badan intelijen 15 negara. Pelibatan badan intelijen dari 15 negara ini tentu saja harus dipahami sebagai upaya AS untuk menggiring dan menggarap badan-badan intelijen negara lain agar mengikuti skenario yang dibangun oleh AS tersebut. Sehingga dengan demikian katika skenario tersebut terwujud, negara-negara yang badan intelijennya telah digarap tidak lagi merasa AS sebagai ancaman, akan tetapi justru menganggap AS sebagai sekutu dan teman dekat, sehingga dengan sukarela akan bekerja dibawah komando AS dalam mewujudkan skenario tersebut, dan akan menerima imbalan tertentu dalam bantuan keuangan dan bantuan kerja sama teknis lainnya untuk negara yang bersangkutan. Praktek yang demikian telah diopersionalkan ketika AS membutuhkan bantuan negara-negara lain dalam War Against Terorism yang dikumandangkan AS.
Jargon War Against Terorism ini merupakan salah satu bentuk rencana operasional AS dalam kerangka skenario 2020, yang dalan hal ini Indonesia sudah dijadikan ladang garapan yang dalam wujud kongkritnya berupa bantuan dana untuk proyek-proyek besar. Proyek besar tersebut dibagi dalam dua level yaitu pada level institusi negara dan level “civil society”. Pada level yang bersifat institusional dilakukan dalam bentuk-bentuk seperti, kerja sama intelijen counter terorism, pembentukan Densus 88 Anti Teror Polri dan Satgas Anti Teror Kejaksaan yang dibiayai oleh AS.
Sementara pada level “civil society” kucuran dana tersebut disalurkan melalui ribuan LSM, ormas Islam maupun media massa dan perguruan tinggi yang ada, dilakukan melalui program-program “brain wash” antara lain berupa, perubahan kurikulum pesantern dan public discourse yang terdiri dari : diskusi dan seminar terbuka serta penulisan buku dan artikel dimedia-media, dengan thema anti Islam dan “radikalisme” tetapi pro sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ujung dari proyek ini adalah memapankan sistem kapitalisme yang dalam bentuk barunya dikenal dengan neo-liberalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar