The China containment policy adalah istilah politik yang bertujuan untuk menanggulangi pengaruh pertumbuhan ekonomi dan politik Republik Rakyat China, yang merupakan bagian dari kebijakan luar negeri AS, hal ini merupakan hasil dari analis politik China, Harkens selama periode perang dingin AS terhadap negara – negara komunis.
Kebijakan ini diberlakukan untuk membatasi dan melemahkan hegemoni
China di Asia. Sehingga secara bertahap AS mendirikan pangkalan militer,
ekonomi, dan menjalin
hubungan diplomatik dengan negara – negara yang
berdekatan dengan perbatasan China, yang akan memberikan akibat
kemitraan aliansi dan ekonomi China bisa terganggu.
Seperti halnya kehadiran militer di Afghanistan, Uzbekistan, dan
Tajikistan, merupakan contoh bagaimana kebijakan ini berjalan, yang
kemudian berlanjut dengan menjalin hubungan dengan negara – negara
wilayah Asia Selatan – Timur dan Asia Pasifik, adalah upaya untuk terus
menanggulangi pengaruh dari China.
Pendukung kebijakan ini menyebut bahwa tindakan AS adalah merupakan
penyeimbang terhadap ekses ekspansi Cina. Negara-negara di wilayah
sengketa dengan China , seperti di Laut Cina Selatan dan Kepulauan
Senkaku. Pada tahun 2006 Strategi Keamanan Nasional AS menyatakan bahwa
militer China memiliki ‘ potensi terbesar dari setiap negara untuk
bersaing dengan teknologi militer AS dan berdampak terhadap menurunnya
keuntungan yang diperoleh AS selama beberapa tahun kedepan.
Dokumen ini berlanjut dengan menyatakan bahwa China harus lebih
terbuka, Kebijakan ini mengasumsikan bahwa tindakan harus diambil
terhadap China untuk mencegah dari mencari hegemoni di kawasan Asia –
Pasifik dan / atau di seluruh dunia . Analis China juga telah
menyarankan bahwa ekspansi yang cepat dari militer China.
Alasan Australia menyadap komunikasi sejumlah petinggi Indonesia
disebabkan kekhawatiran mereka bahwa Indonesia akan “berpaling” kepada
Cina.
Padahal, Barat (Amerika Serikat dan semua sekutunya di seluruh dunia)
memiliki skenario besar membendung pengaruh Cina di mana-mana, yang
dinamakan China Containment. Dalam konteks China Containment inilah,
maka perebutan pengaruh Barat dan Cina itu terjadi secara sengit.
China Containment merupakan cara Amerika Serikat dan sekutunya
membendung peningkatan pengaruh Cina sebagai negara adidaya baru dalam
ekonomi, militer, politik, dan budaya.
AMBISI GLOBAL IMPERIUM AMERIKA
Sebuah Harian Nasional, Rabu, 16 Februari 2005 yang lalu, menuliskan
berita kecil, tentang skenario global Amerika Serikat untuk menguasai
dunia pada tahun 2020. Dalam waktu kurang dari 15 tahun lagi ambisi
tersebut menurut rencana sudah harus tercapai. Berita tersebut mengutip
pernyataan Presiden Italia, Carlo Azeglio Ciampi, pada saat kunjungan ke
New Delhi, India, 15 Februari 2005 yang lalu. Tidak banyak masyarakat
atau bahkan pejabat tinggi dari negara-negara yang selama ini menjadi
ladang garapan Amerika Serikat, seperti Indonesia dan negara berkembang
lainnya dibelahan dunia, memperhatikan berita tersebut, apalagi membahas
dan menjadikan hal tersebut sebagai sebuah ancaman nyata.
Harian USA Today juga menuliskan berita tentang thema yang sama pada
edisi 13 Februari 2005. Akan tetapi, USA Today mengutip dari laporan
National Intelligence Council (NIC), yang diketuai oleh Robert Hutchings
dengan judul “Mapping The Global Future”. NIC meluncurkan laporan lima
tahunan tentang masa depan dunia. “Kami berusaha menghindari peluncuran
skenario buruk, sebagaimana sering dituangkan dalam prediksi dunia
intelijen,” kata Hutchings.
NIC bermarkas di Kantor Central Intelligence Agency (CIA) di Langley,
Virginia. Laporan terbaru itu juga memasukkan pandangan dari badan
intelijen 15 negara. Pelibatan badan intelijen dari 15 negara ini tentu
saja harus dipahami sebagai upaya AS untuk menggiring dan menggarap
badan-badan intelijen negara lain agar mengikuti skenario yang dibangun
oleh AS tersebut. Sehingga dengan demikian katika skenario tersebut
terwujud, negara-negara yang badan intelijennya telah digarap tidak lagi
merasa AS sebagai ancaman, akan tetapi justru menganggap AS sebagai
sekutu dan teman dekat, sehingga dengan sukarela akan bekerja dibawah
komando AS dalam mewujudkan skenario tersebut, dan akan menerima imbalan
tertentu dalam bantuan keuangan dan bantuan kerja sama teknis lainnya
untuk negara yang bersangkutan. Praktek yang demikian telah
diopersionalkan ketika AS membutuhkan bantuan negara-negara lain dalam
War Against Terorism yang dikumandangkan AS.
Jargon War Against Terorism ini merupakan salah satu bentuk rencana
operasional AS dalam kerangka skenario 2020, yang dalan hal ini
Indonesia sudah dijadikan ladang garapan yang dalam wujud kongkritnya
berupa bantuan dana untuk proyek-proyek besar. Proyek besar tersebut
dibagi dalam dua level yaitu pada level institusi negara dan level
“civil society”. Pada level yang bersifat institusional dilakukan dalam
bentuk-bentuk seperti, kerja sama intelijen counter terorism,
pembentukan Densus 88 Anti Teror Polri dan Satgas Anti Teror Kejaksaan
yang dibiayai oleh AS.
Sementara pada level “civil society” kucuran dana tersebut disalurkan
melalui ribuan LSM, ormas Islam maupun media massa dan perguruan tinggi
yang ada, dilakukan melalui program-program “brain wash” antara lain
berupa, perubahan kurikulum pesantern dan public discourse yang terdiri
dari : diskusi dan seminar terbuka serta penulisan buku dan artikel
dimedia-media, dengan thema anti Islam dan “radikalisme” tetapi pro
sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ujung dari proyek ini adalah
memapankan sistem kapitalisme yang dalam bentuk barunya dikenal dengan
neo-liberalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar